A. PENDAHULUAN
Kronologi Peristiwa Kasus
Pelanggaran Berat HAM Tanjung Priok 1984
Peristiwa
tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan
salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa
pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal
masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.
Hal
itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu,
banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang,
dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa
lalu, bagai ‘media peliharaan’. Suharto, presiden diktator era Orde Baru (New
Order) yang berkuasa selama 32 tahun yang selalu menang pemilu 6 kali
berturut-turut alias hat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara
tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR).
Kemiliteran
dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya
sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk
ideologi agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang dimiliki militer
saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik
apapun. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan
dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat
melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif.
Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan
pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan
pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.
Peristiwa
berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan
sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario
dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok. Ini adalah bagian dari operasi
militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman
sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.
Terpilihnya
Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing Feld” juga bukan tanpa
survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi Tanjung
Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah
basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Mayoritas
penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas
pakai dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan
buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan
pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah
yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali
tersulut berbagai isu. Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan
sebelum peristiwa itu terjadi.
Upaya
-upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan. Diantaranya,
pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri
persis berseberangan degan masjid Al-Hidayah. Tokoh-tokoh Islam menduga keras
bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di
pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali
dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.
Sebab,
di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para
mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas
sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal
Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk
perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung
Priok.
Awal Mula
Peristiwa, kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif
tentara
Pada
pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang
mengharuskan penerimaan azas tunggal. Organisasi Islam politik disebut
sebagai kelompok “ekstrim kanan“ yang mengancam kesejahteraan masyarakat.
Mereka menentang kebijakan-kebijakan seperti indoktrinasi ideology di
institusi-institusi pendidikan atau perencanaan perundang-undangan asas
tunggal, dimana kebijakan tersebut memaksa partai-partai dan
organisasi-organisasi untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar
ideologi mereka.
Kelompok
islam menentang karena tidak mau menempatkan agamanya di posisi ke dua.
Demikian juga di Tanjung Priok, sebuah daerah pelabuhan di sebelah utara
Jakarta, pada awal tahun 1984 muncul sebuah gerakan perlawanan. Amir Biki
seorang pengusaha dan mubaligh, mengorganisir beberapa tabligh akbar dimana
dalam acara tersebut terdapat kotbah-kotbah kritis tentang korupsi, dominasi
ekonomi masyarakat indonesia keturunan tionghoa dan perencanaan
perundang-undangan asas tunggal.
Hal
ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini,
terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada jama’ahnya
dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan
Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Pada
tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa beragama Katholik sersan satu Harmanu
datang ke musholla kecil yang bernama “Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan
untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin
pada masa itu, dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan
datang.
Tak
heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa
itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek
apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah
muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci
karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di
musholla dengan air comberan.
Kronologi
Pembantaian
Kronologi Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala
Tentara pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul
Qadir Djaelani, salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai
salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan
dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung
Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir
Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis
dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif
terhadap Umat Islam Indonesia”.
Berikut ini
adalah kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984:
Sabtu, 8
September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki
Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka
menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).
Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan
Sindang.
Minggu, 9 September 1984
Peristiwa
hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran
masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin
Senin 10
September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah
seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran
mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur
yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua
orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah,
berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam
sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika mereka sedang berbicara di depan kantor, massa diluar sudah
terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara
tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak
saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba
saja menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang
marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman
beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa’adah dan satu orang
lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang
membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan
massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan
pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan
segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya
termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
Selasa, 11
September 1984
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya
itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena
tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau
turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir Biki
menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak
bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah
seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil
dan sia-sia.
Rabu, 12
September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di
Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala
as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki,
yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari
sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi
petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang
ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI
yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya
mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam
itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan
demonstrasi.
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun!
Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan
kita (yang dimaksud bukan dari jamaah kita).”
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang
bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu berangkat jamaah
pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Kelompok Yang Menuju Polres
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200
meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang
dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran
berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur. Pada saat pasukan
mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari
segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya
duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,
terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu
disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu
militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara
tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong
senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang
lebih tiga puluh menit!
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil
menjerit histeris, tersungkur berlumuran darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh
menjadi syuhada! Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk
menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Malahan
ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing
ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang
dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak lama berselang datang konvoi truk militer
dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di
jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi
yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan
peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang
bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan
di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang
sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari
jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang
patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat
Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Dari atas truk tentara dengan membabi buta
masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh
jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban
yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke
tempat-tempat disekitar kejadian. Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan
turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan
dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh
mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan
karung goni. Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka
ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua
korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah
sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. Sesudah
mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang
bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya,
sampai bersih.
Kelompok Yang Menuju Kodim
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang
menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari
kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan
perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor
Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang
keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan
jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah
pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka
berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis.
Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.
Saksimata
Menurut ingatan salahsatu saksi yang belum
tewas bernama Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk
militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu
dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu
langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam
keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron
berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara
Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah
pengajian di Tanjung Priok tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima
Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,
apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa
bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.
Hal ini terjadi karena pada tanggal 11
September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga,
Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian
di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan
membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel
Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada
tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang
ke kantor Satgas Intel Jaya.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah
itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang
tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak
(SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai
400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami
berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang
tewas diberondong peluru tentara. (Abdul Qadir Djaelani).
B.
ANALISIS
PERISTIWA TANJUNG PRIOK
Menurut analisis saya peristiwa
Tanjung Priok merupakan pelanggaran HAM yang bersifat berat, yaitu dengan
adanya berbagai tindak pelanggaran yang terjadi. Adapun pelanggaran-pelanggaran
tersebut berupa Pembunuhan kilat, Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang,
Penyiksaan, dan Penghilangan orang secara paksa.
Pembunuhan kilat yang terjadi
sehingga mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI setelah terjadinya peristiwa
Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai
hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Penyiksaan juga terjadi dimana semua
korban yang ditahan oleh pihak militer mengalami penyiksaan, intimidasi dan
teror dari aparat. Pada peristiwa ini juga terjadi penghilangan Orang secara
paksa. Fakta-fakta tindakan ini terjadi dalam tiga tahap, antara lain: pertama, menyembunyikan identitas dan jumlah korban yang tewas
dari publik dan keluarganya. Kedua,
menyembunyikan korban dengan cara melarang keluarga korban untuk melihat
kondisi dan keberadaan korban selama dalam perawatan dan penahanan aparat. Ketiga,
adalah merusak dan memusnahkan barang bukti dan keterangan serta identitas
korban. Akibat tindakan penggelapan identitas dan barang bukti tersebut sulit
untuk mengetahui keberadaan dan jumlah korban yang sebenarnya secara pasti.
Karena kasus ini termasuk kasus
pelanggaran HAM berat maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM,
dan menjatuhkan pidana kepada pihak yang bersalah. Serta mempertegas peraturan
mengenai SARA dan unsur – unsur lain agar lebih dihormati, Pelaku
pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnyaagar menimbulkan efek jera.
Agar masalah seperti ini tidak
terjadi lagi dimasa yang akan datang Pemerintah, pemuka agama, dan
tokoh-tokoh masyarakat hendaknya saling berdiskusi dan menjalin hubungan yang
harmonis. Dengan begitu pemimpin-pemimpin dari berbagai elemen tersebut mampu
mengontrol perilaku anak buahnya. Agar tidak ada lagi adu domba dari segelintir
orang yang memanfaatkan keuntungan jika terjadi konflik.
C.
KESIMPULAN
Pada pertengahan tahun 1984,
beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas
tunggal, yaitu Pancasila. Sebagai satu-satunya landasan ideologi baik politik
maupun partai di Indonesia.keinginan Soeharto ini ditanggapi sinis oleh
sebagian besar tokoh Islam di Indonesia.
Seorang oknum ABRI beragama
Katholik, Sersan Satu Hermanu mendatangi mushollah As-Saad’ah untuk menyita
pamflet yang berbau “SARA”. Namun tindakan Sersan Hermanu menyinggu perasaan
umat islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding
musholah dengan air got, bahkan menginjak Al-Quran. Warga marah dan motor
Sersan Hermanu dibakar oleh warga. Buntutnya, empat orang pengurus musholah
diciduk Kodim. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang
azas Pancasila. Malamnya, di jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan Tabligh.
Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati Khotbah dari Amir
Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana dll. Tuntutan agar aparat melepaskan
empat orang yang ditahan semakin keras disuarakan.
Di Jalan Yoss Sudarso massa dan
tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun padahal seharusnya mereka yang
pertama kali menanganinya. Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar
hanya duduk dijalan dan bertakbir. Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara
mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Suara senapan terdengar
bersahut-sahutan saat itu. Aliran listrik sudah dipadamkan saat itu, api-api
dari dari kilatan senjata terlihat bertubi-tubi. Kemudian datang konvoi truk
militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan.
Dari atas truk, militer terus gencar menembaki massa dengan bringas tanpa hati
nurani. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembaki dengan membabi buta.
Tanjung Priok pun banjir darah.
D.
SUMBER
REFERNSI